EKSISTENSI HAK ULAYAT DAN MODEL PENYELESAIAN KONFLIK

Pembukaan

Hak ulayat, sebagai bagian integral dari sistem hukum adat Indonesia, memiliki eksistensi yang kuat dalam kehidupan masyarakat lokal. Namun, dengan kompleksitas perubahan zaman dan dinamika perkembangan, hak ulayat sering kali menjadi pemicu konflik antara berbagai pihak. Dalam makalah ini, kita akan menyelidiki eksistensi hak ulayat, merinci kerangka hukum yang melingkupinya, dan menjelajahi model penyelesaian konflik yang dapat diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara hak-hak tradisional dan kebutuhan perkembangan sosial.
EKSISTENSI HAK ULAYAT DAN MODEL PENYELESAIAN KONFLIK



BAB I

PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Manusia selalu berhubungan dengan manusia lain dalam suatu komunitas sosial yang dinamakan masyarakat.[1] Di dalam mengadakan hubungan hukum, dapat menimbulkan konflik atau benturan kepentingan. Dalam hal persekutuan dengan tanah yang diduduki, terdapat hubungan yang erat. Yaitu hubungan yang bersifat religio-magis.[2] Hubungan ini menyebabkan persekutuan memperoleh hak untuk menguasai tanah yang dimaksud, memanfaatkan tanah, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah itu, juga berburu terhadap binatang-binatang yang hidup disitu. Hak persekutuan atas tanah ini disebut hak pertuanan atau hak ulayat.[3]
Kedudukan hak ulayat ini, berlaku ke luar dan ke dalam. Berlaku ke luar karena bukan warga persekutuan pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan, hanya dengan seizin persekutuan serta setelah membayar atau lnemberikan ganti kerugian. Orang luar bukan warga persekutuan dapat memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan. Berlaku ke dalam, karena persekutuan sebagai suatu keseluruhan yang berarti semua warga warga persekutuan bersama-sama sebagai suatu kesatuan, melakukan hak ulayat dimaksud untuk memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuh-tumbuhan dan binatang liar yang hidup di atasnya.
Antara hak ulayat dan hak warga masing-masing ada hubungan timbal balik. Jika seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah, untuk mengerjakan tanah itu terus menerus dan menanam pohon-pohon diatas tanan itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu (pasal 20 UUPA). Hak milik ini harus menghormati: hak ulayat desanya; kepentingan-kepentingan yang memiliki tanah; peraturan-peraturan adat.
Bila kemudian tanah itu ditinggalkan dan tidak diurus lagi oleh yang berkepentingan maka tanah itu dipengaruhi lagi oleh hak ulayat. Jika terjadi perselisihan, Kepala adat akan mengambil beberapa tindakan untuk memulihkan perselisihan tersebut, umpamanya: 1) mengganti kerugian pada orang yang merugikan / pada masyarakat adat, 2) membayar uang adat kepada persekutuan hukum yang bersangkutan.
Secara umum, persoalan pertanahan dapat dipilahkan dalam delapan kelompok besar; antara lain: sengketa tanah, perkebunan, sengketa tanah kawasan hutan, masalah pelaksanaan putusan pengadilan, sengketa batas dan pelapisan kepemilikan tanah, masalah pendudukan dan ganti rugi, masalah tanah hak ulayat, masalah tanah bengkok, dan masalah tanah terlantar.
Khusus masalah tanah hak ulayat bermula dari nama yang diberikan para ahli hukum kepada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat-masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wilayahnya, yang disebut tanah ulayat. Dalam bahasa Hukum Adat yang dikenal adalah sebutan bagi tanahnya. Dalam perpustakaan Hukum adat yang berbahasa Belanda, mengikuti penamaannya oleh van Vollenhoven, lembaganya disebut “beschikkingsrecht”. Paradigma yang melingkupi hukum agrarian nasional memang telah mengakomodasi hak-hak masyarakat adat, namun demikian pengakuan ini masih bersifat ambigu dengan tidak adanya pengakuan sepenuhnya pengakuan hak-hak adat.[4]
Ambiguitas ini dapat dilihat dari ketentuan UUPA yang mensyaratkan bahwa hak-hak masyarakat adat itu diakui sepanjang kenyataannya masih ada. Persoalannya adalah siapa kemudian yang berwenang untuk menyatakan bahwa masyarakat adat itu ada. Dan bukankah ketentuan ini pada akhirnya akan mematikan kesatuan masyarakat adat karena keberadaan mereka diukur dari legalitas formal dan tidak memandang sebagai kesatuan masyarakat hukum yang hidup dan berkembang secara menetap dan dalam jangka waktu yang panjang disertai budaya-budaya yang melekat.
Pengaturan semacam ini menjadi tantangan serius dalam melindungi hak-hak adat dan utamanya masyarakat adat itu sendiri. Pengebirian hak-hak adat juga terjadi dengan adanya ketentuan konversi hak-hak adat ke dalam hak-hak barat seperti hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai. Ketentuan konversi ini berangkat dari paradigma unifikasi dan simplifikasi persoalan agraria. Dalam paradigma yang demikian keanekaragaman hukum agraria berdasarkan hukum adat dipersamakan dan dibuat sederhana. Padahal Secara filosofis keberadaan hak-hak adat berangkat dari pemikiran yang berbeda dengan hak-hak barat. Keberadaan hak-hak adat tumbuh dan berkembang secara signifikan sesuai dengan perkembangan struktur kemasyarakatannya, sehingga apabila langsung dikonversikan, ada beberapa hal yang tidak sepenuhnya tepat.
Di samping itu Hak ulayat diatur juga dalam UUPA, tetapi pengetahuan itu disertai 2 syarat yaitu mengenai “eksistensinya” dan mengenai pelaksanaannya, hak ulayat diakui "Sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, demikian pasal 3 yang menunjukkan bahwa ada kalanya hak ulayat itu pelaksanaannya oleh para penguasa menghambat, bahkan merintangi usaha-usaha besar pemerintahan.

B.     Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi permasalahan yang nantinya akan menjadi dasar dari pembahasan makalah ini adalah:
1.      Apa yang dimaksud dengan hak ulayat?
2.      Seperti apa hubungan hak ulayat dengan hak-hak perseorangan?
3.      Bagaimana eksistensi hak ulayat di masyarakat hukum adat?
4.      Apa saja model penyelesaian konflik yang diakibatkan sengketa hak ulayat?
5.      Bagaimana peran kepala desa dalam penyelesaian sengketa hak ulayat?
6.      Bagaimana penggunaan cara non-litigasi dengan metode mediasi?


 
BAB II

PEMBAHASAN

A.     Pengertian

Hak Ulayat adalah nama yang diberikan ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum konkret antara masyarakat- masyarakat hukum adat dengan tanah dalam wuilayannya, yang disebut tanah ulayat. Dalam Bahasa Hukum Adat yang dikenal adalah sebutan bagi tanahnya. Dalam perpustakaan Hukum adat yang berbahasa Belanda, mengikuti penamaannya oleh van Vollenhoven, lembaganya disebut "beschikkingsrecht"
Hak Ulayat merupakan serangkaian wewenang-wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Kewenangan dalam hukum perdata adalah yang bernubungan dengan hak bersama kepunyaan atas tanah tersebut. Kewenangan hukum publik berupa kewenangan untuk mengelola, mengatur, memimpin peruntukan, penguasaan, penggunaan,dan pemeliharaannya.
Dalam lingkungan hak ulayat tidak ada tanah sebagai “res nullius” (kamus hukum: (lat) barang atau benda tanpa ada pemiliknya). Pada umumnya tidak ditentukan batas wilayah teritorial hak ulayat. Masyarakat hukum adat sebagai penjelmaaan seluruh anggota yang mempunyai hak ulayat, bukan perseorangan.
Hak Ulayat mengandung 2 unsur, yaitu: unsur kepunyaan yang termasuk bidang hukum perdata dan; unsur tugas kewenangan untuk mengatur penguasaan dan memimpin penggunaan tanah-bersama, yang termasuk bidang ukum publik. Unsur tugas kewenangan yang termasuk bidang hukum publik tersebut pelaksanaannya dilimpahkan kepada Kepala Adat sendiri atau bersama- sama dengan para Tetua Adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Hak Ulayat dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi. Dalam hal hak menguasai dari negara, hal ini tidak bertentangan dengan pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Dan pula tidak bertentangan dengan hak ulayat yang dikenal dalam hukum adat. Dalam penjelasan UUPA dikatakan bahwa hak menguasai dari negara ini merupakan semacam hubungan hak ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas yaitu pada tingkatan yang mengenai semruh wilayah negara”. Kesimpulan tersebut sesuai dengan pendapat pemerintah sehingga hak menguasai dari Negara dicantumkan dalam pasal 2 ayat 2 UUPA.[5]
Hak ulayat dan hak-hak serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataan masih ada, lnenurut pasal 3 UUPA masih terus dapat dilaksanakan tetapi harus sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang Iebih tinggi.” Dengan kata lain daerah swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat dapat:
Melaksanakan hak ulayat dan hak-hak serupa itu sepanjang menurut kenyataan masih ada.
Melaksanakan hak menguasai dari negara yang dikuasakan pada daerah-daerah tersebut, sekedar diperlukan keduanya dengan syarat tersebut diatas. Selain itu ditentukan pula hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat yang boleh dilaksanakan dengan syarat-syarat tersebut, adalah hak ulayat dan hak-hak serupa yang sepanjang kenyataannya masih ada. Yang dimaksud dengan itu adalah hukum adat (hak ulayat, dll) yang pada saat diundangkan UUPA, masih diadatkan (masih hidup) yang mungkin kelak tidak akan diadatkan lagi, Yang demikian ini disebabkan karena hukum adat itu hidup dan berkembang menyesuaikan diri dengan perubanan jaman. Mengenai hukum adat atas tanan dan air yang pada saat diundangkan UUPA sudah tidak diadatkan tetap tidak berlaku.

B.     Hubungan Hak Ulayat Dengan Hak-Hak Perseorangan

Makin banyak usaha yang dilakukan seseorang atas suatu bidang tanah, maka makin erat hubungannya dengan tanah yang bersangkutan dan makin kuat pula hak atas tanah tersebut.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Agung tanggal 7 Februari 1959 No. 59/K/SIP/1958. Menurut hukum adat karo sebidang tanah “kesasi”, yaitu sebidang tanah kosong, yang letaknya dalam kampong bisa menjadi milik perseorangan, setelah tanah itu diusahai secara intensif oleh seorang penduduk kampung itu. ”Di beberapa daerah kekuatan hak ulayat kenyataannya sudan hampir hilang, tapi menurut hidup adat bagaimanapun berkurangnya, hak perseorangan atas tanah tersebut tetap terikat oleh hak ulayat, Apabila suatu tanah tidak diusahakan lagi hingga tumbuh semak belukar, maka hak atas tanah tersebut bisa hilang, Berdasarkan Keputusan MA tanggal 24 September 1958 1958 No. 329/K/AIP/|957 “bahwa berdasarkan kelaziman dalam adat yang berlaku di wilayah Padang Lawas, sawah yang ditinggalkan 5 tahun berturut-turut dianggap kembali menjadi tanah kosong, sehingga penguasaannya oleh orang lain sesudah berlangsung masa 5 tahun adalah sah, jika tanah itu diperoleh dari yang berhak memberikannya".[6] Berkaitan dengan fungsi sosial dari hak- hak atas tanah yang merupakan perwujudan dari unsur kebersamaan. Para warga diberi kemungkinan untuk membuka, menguasai dan manghakimi tanah bukan sekedar untuk dipunyai, melainkan dengan tujuan untuk diusahakan bagi pemenuhan kebutuhan mereka masing-masing.
Dengan bertambah kuatnya penguasaan bagian-bagian tanah tersebut oleh mayarakat, secara alamiah kekuatan hak ulayat dalam masyarakat hukum adat makin melemah. Oleh karena itu dalam UUPA dan hukum tanah nasional tidak mengatur masalah hak ulayat ini, karena dapat berakibat akan melanggengkan dan melestarikan eksistensinya.

C.     Eksistensi Hak Ulayat di Masyarakat Hukum Adat

Untuk menentukan eksistensi atau keberadaan hak ulayat, ada tiga persoalan mendasar yang dialami oleh masyarakat adapt (indigenous peoples), yaitu:
1)      masalah hubungan masyarakat adat dengan tanah dan wilayah dimana mereka hidup dan dari mana mereka mendapatkan penghidupan, termasuk sumberdaya alamnya;
2)      masalah self determination yang sering menjadi berbias politik dan sekarang masih menjadi perdebatan sengit; dan
3)      masalah identification, yaitu siapakah yang dimaksud dengan masyarakat adat, apa saja kriterianya, apa bedanya dengan masyarakat bukan adat/asli/pribumi (non-indigenous peoples).[7]
Soal hubungan antara masyarakat adat dengan Sumberdaya alamnya atau hak ulayat merupakan kondisi konstitutif bagi eksistensi masyarakat adat. Hubungan antara masyarakat dengan tanah atau sumberdaya alamnya adalah inti dari konsep ulayat.
Konsep ulayat lahir dari hak alamiah (natural rights), kemudian dalam negara modern atau negara demokratis konstitusional, ulayat sebagai natural rights itu dikonversi menjadi natural law di dalam hukum positif. Tidak semua negara yang mengadopsi konsep ulayat di dalam hukum positifnya. Adopsi ulayat sebagai hak dalam hukum positif merupakan suatu upaya mendamaikan antara hukum modern yang dipakai untuk menata kehidupan (secondary rules) dengan hukum asli yang ada di dalam komunitas masyarakat (prima rules).
Negara-negara Eropa di mana industrialisasi berkembang pesat serta pengaruh kuat saudagar dalam dinamika politik, soal hak ulayat yang pengemban haknya adalah masyarakat secara kolektif tidak mendapat tempat di dalam konstitusinya. Bagi negara-negara industri, hak kepemilikan secara individu merupakan fondasi terpenting dalam pengembangan produksi dan industrialisasi. Individualisasi hak merupakan suatu prakondisi bagi hak kebebasan yang memungkinkan persaingan dan kontraktual.
Pada negara-negara (eks) komunis serta Negara dunia ketiga yang bercorak agraris, soal ulayat mendapatkan tempat penting dalam pembentukan negara modernnya. Misalkan di Afrika, perjuangan hak ulayat oleh masyarakat asli atau masyarakat adat merupakan alasan utama menuntut kemerdekaan dan membentuk republik. Hal yang senada juga menjadi landasan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, penguasaan atan perebutan tanah dan air (sumber daya alam) merupakan wacana terpenting menjadi alasan menolak kolonialisme yang menghisap bagaikan parasit. Hal ini dapat dilihat di dalam teks pembukaan UUD l945 serta lagu lndonesia Raya stansa 2 dan stansa 3, serta Pasal 33 ayat 3 UUD 1945.
Dari segi hak asasi manusia, Rafael Edy Bosco dami tesisnya inenyainpaikan bahwa ada sejumlah hak-hak prinsip dalam instrument hukum HAM internasional yang berkaitan dengan hak ulayat. Hak-hak itu antara lain: Hak menentukan nasib sendiri (self determination); hak untuk tidak didiskriminasi; Ha atas tanah dan sumber daya alam; Hak atas kebudayaan; Hak untuk berpartisipasi; Hak atas lingkungan yang sehat; Hak untuk memberikan Persetujuan Bebas Tanpa Syarat (FPIC).
Pada 29 Juni 2006 disepakati Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Asli / Masyarakat Adat (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples). Deklarasi ini bersifat progresif karena mengakui landasan-landasan penting dalam perlindungan, pengakuan dan pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Deklarasi ini berisi pengakuan baik terhadap hak individu maupun hak kolektif masyarakat adat, hak atas identitas budaya, hak atas pendidikan, kesehatan, bahasa dan hak-hak dasar lainnya. Deklarasi ini mengakui hak masyarakat adat untuk menentukan nasib sendiri (self determination) dan pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya alam dan partisipasi dalam pembangunan.
Sebagai Hak Asasi Manusia, maka terhadap hak ulayat berlaku doktrin umum tentang kewajiban negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to pullfil) hak ulayat masyarakat adat. Melihat instrumen hukum HAM lnternasional tentang hak-hak Ekosob banyak yang berkaitan dengan hak ulayat, maka pemerintah harus melakukan tindakan positif berupa serangkaian tindakan dalam menghormati, melindungi, memenuhi hak ulayat dan melakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran hak yang terjadi. Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan deklarasi tersebut mengemban amanah untuk mengadopsinya dalam hukum nasional Indonesia.
Dalam teks UUD 1945 generasi pertama, pengaturan tentang masyarakat adat dan hak ulayat ditautkan pada Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sstem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat lstimewa.”
Dalam pengaturan demikian, maka persoalan hak asal-usul yang salah satunya adalah hak atas sumberdaya alam atau hak ulayat sebagai penanda keberadaan masyarakat adat, direduksi menjadi persoalan tata pemerintaan. Keistimewaan kerajaan lama dan susunan persekutuan masyarakat asli dihormati da1am rangka menopang pemerintahan pusat. Yaitu pemerintahan bawahan yang menyatu dengan pemerintahan atasan.
Fokus utama pembahasan pada pembentukan UUD 1945 adalah menjadikannya sebagai konstitusi politik penanda keberadaan republik baru. Orientasinya pada konsolidasi kekuatan pada tubuh negara menjadikan persoalan pengaturan hak asasi manusia atau hak warga negara dianggap tidak begitu penting. Lebih tepatnya, soal HAM menjadi tema perdebatan yang cukup serius. Sehingga UUD 1945 sedikit sekali mengatur jaminan HAM baik hak individu maupun hak ulayat masyarakat adat. Di samping hak ulayat yang diatur secara implisit, UUD 1945 juga mengatur (hak) penguasaan negara atas sumberdaya alam yang dicantumkan dalam Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi: Ayat (2) Cabang-cabang produksi yang panting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ayat (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai o1eh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Mohammad Hatta menyatakan bahwa Pasal 33 itu memberikan kewajiban kepada pemerintah untuk melakukan pengawasan dan pengaturan agar penguasaan negara atas sumberdaya alam dapat ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan dalam bernegara dan bennasyarakat di Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan laina ke dalam masa transisi. Konsep tentang hubungan negara dengan sumberdaya alam, atau hak masyarakat atas sumberdaya alam menguat pada tahap pewacanaan dan gerakan.
Paket empat kali amandemen UUD 1945 (1999-2002) menjadi ruang dimana pertarungan ide berlangsung. Setidaknya ada dua komponen yang berkaitan dengan relasi antara masyarakat adat dengan sumberdaya alam (hak ulayat) serta relasi antara negara dengan sumberdaya alam, yang mesti dilihat sebagai suatu keterkaitan. Keterkaitan itu beranjak dari asumsi bahwa "hak" merupakan tema yang bersifat formal dan diskretif.

D.    Model Penyelesaian Konflik yang Diakibatkan Sengketa Hak Ulayat

Konflik atau sengketa dapat diselesaikan melalui mekanisme litigasi, non-litigasi maupun advokasi. Masing-masing mekanisme penyelesaian sengketa tersebut memiliki persyaratan, karakteristik, dan kekuatan berlakunva yang satu sama lain tidaklah sama.
Mekanislne litigasi dapat dipilih untuk konflik atau sengketa kepastian hukum dan hak, dimana para pihaknya tidak lagi memiliki itikat baik untuk berdamai atau memusyawarahkan kasusnya. Litigasi juga didayagunakan untuk kasus-kasus pelanggaran hukum atau kejahatan terhadap kemanusian dan hak asasi manusia. Keputusan yang dihasilkan lebih bersifat memaksa.
Sedangkan mekanisme non-litigasi dipilih apabila terhadap kepentingan para pihak yang harus dilindungi dihadapan publik dan terhadap keinginan yang kuat dari masing-masing pihak untuk berdamai dan memusyawarahkan kasusnya. Keputusan yang dihasilkan lebih bersifat sukarela. Sedangkan mekanisme advokasi dapat didayagunakan untuk konflik atau sengketa di masyarakat misalnya konflik atau sengketa perburuhan, perempuan dan anak korban kekerasan dan perdagangan (trafficking).
Pengadilan, oleh masyarakat tidak lagi dilihat sebagai lembaga penyelesaian sengketa satu-satunya. Lebih-lebih bila saat ini keberadaan lembaga pengadilan sudah terinfiltrasi dengan berbagai kasus Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yang lebih dikenal dengan istilah KKN. Lebih parah lagi, lembaga ini oleh masyarakat telah diberi stigma "Mafia Peradilan”. Hal ini mengingat banyak produk keputusan pengadilan yang menyimpang dari azas-azas keadilan, cepat dan berbiaya murah.
Mekanisme litigasi, non-litigasi maupun advokasi secara konseptual dan akademik memiliki cakupan yang sangat luas dengan berbagi dimensi teoritik dan pengaturannya.
Dalam konteks inilah maka diperlukan model alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, yang lebih efisien, efektif dan adil serta akomodatif guna menjaga kelestarian dan keberlanjutan kehidupan masyarakat yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Model alternatif penyelesaian sengketa yang dipilih oleh forum ini adalah Teknik Mediasi.
Pada dasarnya persoalan hak ulayat yang menyebabkan konflik diantaranya adalah:
1)      Konflik antar pemegang hak ulayat yang disebabkan oleh batas-batas lahan yang tidak jelas.
2)      Konflik yang memperebutkan wilayah snmber-sumber air.
3)      Pada saat investor akan menggunakan tanah hak ulayat, maka konflik akan terjadi karena tidak jelasnya batas-batas lahan hak ulayat.
4)      Beberapa pemegang hak ulayat, tanpa berkoordinasi dengan anggota persekutuan adat yang lain, berinisiatif menguruskan tanah hak ulayat pada Badan Pertanahan Nasional setempat. Hal ini menimbulkan beberapa persoalan yaitu masalah kewenangan siapa yang boleh mengurus hak ulayat tersebut.
5)      Penggunaan hukum waris adat yang seringkali berbenturan dengan hukum waris nasional, sehingga penyelesaian konflik akan semakin sulit.
Permasalahan hak ulayat tersebut, tentunya haruss disikapi dengan serius dan harus dicari upaya penyelesaian yang seadil-adilnya. Tentnnya solusi yang harus dicari adalah yang paling kecil dampak atau potensi konfliknya, artinya solusi yang dihasilkan dapat meredam konflik horizontal antar pemegang hak ulayat dan konflik vertikal antara pemegang hak ulayat dengan pemerintah.
Kami menawarkan suatu solusi pemecahan konflik hak ulayat, yang nantinya dapat dijadikan suatu model sebagai upaya penyelesaian konflik hak ulayat. Model penyelesaian konflik tersebut diharapkan dapat dijadikan pilot project untuk bisa diterapkan di daerah lain.

E.     Peran Kepala Desa dalam Penyelesaian Sengketa Hak Ulayat

Secara umum, penyelesaian sengketa atau konflik dapat diselesaikan oleh Kepala Desa dengan 3 cara, yaitu:
a)      Litigasi, yaitu model penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
b)      Non-litigasi, yaitu model penyelesaian sengketa melalui luar pengadilan atau musyawarah. Dalam bahasa hukum sering disebut dading atau damai.
c)      Advokasi, yaitu pembelaan secara sistematis dan terorganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap dan maju.
Di antara ketiga Cara tersebut, yang paling cocok dengan konflik hak ulayat adalah dengan cara Non-litigasi. Apabila dengan cara Non-litigasi tidak tercapai, maka cara litigasi dapat dipakai sebagai upaya yang terakhir.
Pertimbangan memakai cara non-litigasi adalah sebagai upaya untuk mencari alternative penyelesaian yang lebih adil dan manusiawi. Dalam bahasa asing cara ini sering dikenal dengan nama Alternative Dispute Resolution (ADR). Dalam praktek di Indonesia cara ini tergolong baru meskipun prinsip-prinsipnya telah lama dijalankan oleh banyak komunitas adat di lndonesia dalam menyelesaikan sengketanya. Model ini cukup populer di Amerika Serikat dan Eropa. lstilah ADR dalam baltasa Indonesia banyak artinya, diantaranya adalah Pilihan Penylesaian Sengketa (PPS), Mekanisine Alternative Penylesaian Sengketa (MAPS), Pilihan Penyelesaian di luar peradilan dan mekanisme penyelesaian yang kooperatif.
ADR sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pililian terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut menimbulkan implikasi yang berbeda. Apabila pengertian pertama menjadi acuan, maka seluruh mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Apabila ADR dipahami sebagai alternative to adjudication. maka dapat meliputi mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsensus seperti halnya negoisasi, mediasi dan konsiliasi.
Di Indonesia, penggunaan ADR sudah secara eksplisit disebutkan dalam perundang-undangan, yaitu di antaranya adalah:
1.      Pasal 130 HIR juncto Pasal l54 Rbg.
2.      Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP).
3.      Pasal 6 ayat (l) Undang-Undang No. 30 tahun l999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa.
4.      Pasal 30 Undang-Undang No. 23 Taltun l997 tentang Pengelolaan lingkungan Hidup.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka secara yuridis sudah dapat dibenarkan apabila penyelesaian sengketa hak ulayat dapat diselesaikan melalui ADR ini khususnya dengan cara Non-litigasi. Dalam Cara penyelesaian Non-litigasi, metode yang digunakan ada tiga cara, yaitu: Proses Negoisasi; Proses Mediasi; Proses Arbitrase. Dari ketiga inetode diatas, yang paling tepat digunakan untuk penyelesaian sengketa hak ulayat adalah dengan menggunakan metode mediasi sedangkan metode negoisasi dan arbitrase lebih tepat digunakan untuk perkara-perkara perdata atau kontrak-kontrak perdagangan internasional.
Metode mediasi atau dalam bahasa Inggris disebut mediation adalah penyelesaian sengketa dengan menengahi. Mediator adalah orang-orang yang menjadi penengah. Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang menyangkut bantuan dari pihak ketiga yang netral dalam upaya penyelesaian sengketa. Mediasi juga bias dikaitkan sebagai proses negoisasi pemecahan konflik atau sengketa di mana pihak luar atau pihak ketiga yang tidak memiliak (impartial) bekerjasama dengan pihak yang bersengketa atan konflik untuk membantu memperoleh kesepakatan perjanjian dengan memuaskan.
Berkaitan dengan masalah hak ulayat, secara sosiologis, setiap orang dalam suatu komunitas memiliki sistem dan mekanisme penyelesaian sengketa. Bagi sebagian masyarakat Indonesia yang hidup di pedesaan yang nerupakan masyarakat adat, jika timbul sengketa diantara mereka, maka mereka jarang sekali menyelesaikan di pengadilan atau litigasi. Mereka lebih suka dan senang hati membawa sengketa ke lembaga yang tersedia pada masyarakat adat untuk diselesaikan secara damai. Dalam masyarakat hukum adat, penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di hadapan kepala desa atau hakim adat.
Perlu diketahui bahwa secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan consensus. Pengembangan penyelesaian sengketa di Indonesia sesuai dengan mekanisme pengambilan keputusan secara tradisional dan penyelesaian sengketa secara adat. Alasan kultural bagi eksistensi dan pengembangan ADR di Indonesia tampak lebih kuat dari ketidakefisienan proses peradilan dalam menangani sengketa.
Di Indonesia proses penyelesaian sengketa melalui ADR bukanlan hal yang barn dalam nilai-nilai masyarakat adat yang berjiwa kooperatif. Misalnya dalam masyarakat adat Batak, misalnya memiliki niiai litigious yaitu masih mengembangkan forum ranggun adat yang intinya penyelesaian sengketa secara musyawarah dan kekeluargaan. Begitu juga di Bali terdapat lembaga penyelesaian sengketa secara adat yang dikenal dengan awig-awig.

F.      Penggunaan Cara Non-litigasi Dengan Metode Mediasi

Kembali ke masalah penggunaan metode untuk penyelesaian masalah hak ulayat, model yang kami tawarkan adalah menggunakan cara non-litigasi melalui metode mediasi. Sebagaimana kami uraikan sebagai berikut;

a.       Tujuan mediasi adalah untuk:

1)      menghasilkan suatu rencana kesepakatan ke depan yang dapat diterima dan dijalankan oleh para pihak yang bersengketa,
2)      mempersiapkan para pihak yang bersengketa untuk menerima konsekwensi dari keputusan yang mereka buat, dan
3)      mengurangi kekhawatiran dan dampak negatif lain dari suatu konflik dengan cara membantu pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian secara konsensus.

b.      Peran dan Fungsi Mediator.

Mediator dapat mengambil peran lemah (pasif) atau peran kuat (aktif), Peran mediator lemah apabila hanya melaksanakan:
1)      penyelenggaraan pertemuan,
2)      pemimpin diskusi netral,
3)      pemelihara atau penjaga aturan perundingan agar proses perundingan berlangsung secara beradap,
4)      mengendalikan  emosi  para  pihak,  pendorong pihak yang kurang mampu mengemukakan pandangannya.
Mediator mengambil peran kuat apabila dalam perundingan mengerjakan hal-hal berikut:
·        mempersiapkan dan membuat notulen perundingan,
·        merumuskan titik temu / kesepakatan para pihak,
·        membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukanlah pertarungan untuk dimenangkan, melainkan diselesaikan,
·        menyusun dan mengusulkan alternative pemecahan masalah, dan
·        membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan masalah.
Adapun Fungsi mediator mencakup tujuh hal yang mendasar:
1.      Sebagai katalisator, membangun suasana yang konstruktif bagi diskusi,
2.      Sebagai "pendidik" berusaha memahami aspirasi prosedur kerja, keterbatasan politis dan kendala usaha dari para pihak,
3.      Sebagai penerjemah, berusaha menyampaikan dan merumuskan usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa atau ungkapan yang baik dengan tanpa mengurangi sasaran yang dicapai oleh pengusul,
4.      Sebagai nara sumber, mendayagunakan sumber-sumber informasi yang tersedia,
5.      Sebagai "penyandang berita jeiek", meredam sikap emosional pihak bersengketa dengan cara mengadakan pertemuan terpisah, guna menampung berbagai usulan-usulan,
6.      Sebagai "agent realitas" memberi pengertian secara jelas kepada para pihak bahwa usulannya tidak masuk akal, sehingga mempersulit terjadinya kesepakatan,
7.      Sebagai "kambing hitam" siap disalahkan bila terjadi kesalahan dalam membuat kesepakatan hasil perundingan.

c.       Tahap-tahap Mediasi.

Tahap-tahap mediasi memiliki beberapa versi, antara lain versi Moore, Forberg dan Taylor, Versi Jasqueline M. Nolan-Haley, Versi Steven B. Goldberg dkk. Dari berbagai versi tersebut dapat diambili garis besarnya yang meliputi 4 (empat) tahap, yaitu:
·        Tahap Pertama: Pembentukan Forum
Sebelum rapat dimulai antara mediator dan para pihak, mediator menciptakan atau membentuk forum. Setelah forum terbentuk, rapat dapat dilaksanakan. Pada saat itu mediator mengeluarkan pernyataan pendahuluan seperti:
o       Memperkenalkan diri dan dilanjutkan perkenalan para pihak,
o       Menjelaskan kedudukan mediator,
o       Menjelaskan peran dan wewenangnya, menjelaskan aturan dasar tentang proses mediasi, aturan kerahasiaan, dan ketentuan rapat,
o       Menjawab pertanyaan-pertanyaan para pihak, dan bila para pihak sepakat untuk melakukan perundingan, mintalah komitmen untuk mengikuti semua aturan yang berlaku.
·        Tahap Kedua: Saling Mengumpulkan dan Membagi Informasi.
Mediator meminta pernyataan maupun penjelasan pendahuluan dari masing-masing pihak yang bersengketa mengenai: Fakta dan posisi kasus menurut versi masing-masing, sebagai pandangan aktif dan dapat mengemukakan pertanyaan-pertanyaann mengontrol interaksi para pihak.
·        Tahap Ketiga: Tawar Menawar Pemecahan Masalah
Pada tahap ketiga ini mediator akan menggunakan caucus (bilik kecil), yaitu mengadakan pertemuan pribadi dengan para pihak secara terpisah. Dalam kesempatan ini mediator melakukan tanya javvab dengan para pihak secara mendalam denga tujuan untuk mengetahui apa yang diinginkan, kepentingan para piliak dan kemungkinan-kemungkinan penyelesaiannya. Bertolak dari hasil caucus ini, mediator membuat perumusan tilang dan menyampaikan pada para pihak tentang inti persengketaan.
Untuk memecahkan inti persengketaan yang telah diidentifikasi tersebut, mediator bersama-sama dengan para pihak secara partisispatif melakukan:
o       penaksiran, penilaian dan memprioritaskan kepentingan masing-masing,
o       memperluas atau mempersempit sengketa bilamana diperlukan,
o       membuat agenda negosiasi, serta
o       memberikan penyelesaian alternatif.
·        Tahap keempat: Pengambilan Keputusan
Pada tahap ini, para pihak saling bekerja sama dengan bantuan mediator untuk mengevaluasi pilihan penyelesaian sengketa, menawarkan paket, memperkecil perbedaan-perbedaan dan mencari basis yang adil bagi alokasi bersama.

d.      Teknik Mediasi

Untuk membangun proses penyelesaian sengketa, seorang mediator dapat menggunakan beberapa teknik, yaitu: Membangun kepercayaan, Menganalisis konflik, Mengumpulkan informasi, Berbicara secara jelas, Mendengar dengan penuh perhatian, Meringkas / merumuskan ulang pembicaraan para pihak, Menyusun aturan perundingan, Mengorganisir pertemuan perundingan, Mengatasi emosi para pihak.
Dari penjelasan tentang metode mediasi tersebut, diharapkan agar persoalan konflik hak ulayat bisa terselesaikan dengan baik dengan prinsip keadilan dan win-win solution.
Dalam konteks penyelesaian konflik hak ulayat yang tidak bisa diselesaikan secara Non-litigasi, maka dapat dilakukan upaya terakhir yaitu penyelesaian secara Litigasi. Cara ini memang sulit sekali diselesaikan karena beberapa kelemahan berkaitan dengan hukum positif di Indonesia yang harus dibuktikan sesuai dengan kaidah- kaidah yang ada pada Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah. Banyak sekali pemegang hak ulayat yang tidak bisa menunjukkan secara tegas dan jelas batas-batas wilayah tanahnya.
Seringkali mereka menggunakan pohon-pohon besar sebagai tanda batas. Hal ini jelas akan membingungkan hakim untuk memutus perkara tersebut. Jadi, penyelesaian yang terbaik tetap melalui ADR yaitu melalui Cara Non-litigasi dengan metode mediasi.




BAB III

PENUTUP


A.     Kesimpulan

Petunjuk atau pedoman untuk menentukan eksistensi keberadaan hak ulayat secara yuridis harus disertai syarat-syarat, yaitu:
1.      Hak-hak tradisionil kesatuan masyarakat hukum adat khususnya hak ulayat dapat diakui oleh Negara apabila sepanjang masih hidup dan menurut kenyataannya masih ada, serta sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
2.      Pengertian sepanjang masih hidup dan kenyataannya masih ada adalah masyarakat hukum adat tersebut memenuhi kriteria:
·        masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechsgemeenschap);
·        ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
·        ada wilayah hukum adat yang jelas;
·        ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
·        masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayali hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
3.      Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Model penyelesaian konflik hak ulayat yang tepat adalah dengan menggunakan Alternative Dispute Resolution (ADR) yaitu dengan Cara Non-litigasi dengan menggunakan metode mediasi. Model ini sangat tepat sesuai dengan karakteristik masyarakat hukum adat yang masih mendasarkan penyelesaian konflik secara musyawarah dan mufakat dengan mediasi tetua adat atau informal leader. Di samping itu, untuk pembuktian hak ulayat yang mendasarkan pada batas-batas wilayah yang ditetapkan secara sepihak dan tradisionil, akan sangat sulit dalam hal pembuktiaannya apabila ada sengketa yang diselesaikan melalui Cara Litigasi atau lewat pengadilan.

B.     Saran

Perlu adanya pengaturan yang jelas terhadap kelembagaan masyarakat hukum adat di Indonesia. Pengaturan tersebut bisa berupa pendataan secara detail yang dilakukan aparat desa setempat terhadap lembaga-lembaga masyarakat hukum adat yang masih hidup.
Para tetua adat atau penguasa adat harus diidentifikasi dan didata berapa luas lahan yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat tersebut, kemudian dikumpulkan oleh pejabat pemerintahan untuk diberikan bimbingan mengenai pentingnya menentukan batas-batas lahan garapannya.
Perlu diadakan pendampingan secara mendalam bagi aparat pemerintahan yang mengurusi hak ulayat dan para tetua adat untuk diadakan suatu pelatihan tentang cara menyelesaikan konflik hak ulayat melalui Alternative Dispute Resolution (ADR).




DAFTAR PUSTAKA



Anonimous,  Jurnal  Manusia  dan  Lingkungan, Pusat Studi Lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999.
Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional  di  Indonesia: Studi  Sosio-

Legal atas Konstituante 1956-1959, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 1995.

Asshiddiqie, Teori & Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, (Jakarta: Ind. Hill-Co)., 1998.
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan            UUPA,            Isi        dan

Pelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Cetakan Kelima, Jakarta, 1994.
Eddie Riyadi Terre, Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia, dalam Rafael Edy Bosko, Hak-hak Masyarakat Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, ELSAM dan AMAN, Jakarta, 2006.
Fauzi Noer, Tanah dan Pembangunan, Cetakan 1, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1997.
Muchsan, Pengaruh Sifat Peraturan Perundang-undangan terhadap Perbuatan Pemerintah (Kasus Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum) dalam Mimbar Hukum No. 29/IV/1998, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 1998.
Rikardo Simartama, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta, 2006.
Syafrudin Bahar dkk, Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Edisi III, Cet 2. Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995.
Soebekti        Tamara,   Kumpulan   Putusan   MA Mengenai Hukum Adat.,  Gunung  Agung,

Jakarta, 1961.
Sumardjono, Maria SW., Tinjauan Kasus Beberapa Masalah Tanah, Cetakan I, Jurusan Hukum Agraria Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1982.
________, Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi, Cetakan I, Buku KOMPAS, Jakarta, 2001
Supriadi, Hukum Agraria, Sinar Grafika, Jakarta.
Yance  Arizona,  Mengintip  Hak  Ulayat Dalam Konstitusi di Indonesia, 2008






[1] Anonimous., Jurnal Manusia dan Lingkungan. Pusat Studi lingkungan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1999
[2] Fauzi Noer, Tanah dan Pembangunan. Cetakan 1, Penerbit Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. 1997
[3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1, Djambatan, Cetakan Kelima, Jakarta, 1994
[4] Muchsan., 1998., Pengaruh Sifat Peraturan Perundang-undangan terhadap Perbuatan Pemerintah (Kasus Perolehan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum), Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta.
[5] Sumardjono, Maria SW., 1982., Kebijakan Pertanahan Antara Regulasi dan Implementasi,

Cetakan 1, Buku KOMPAS, Jakarta

[6] Soebekti Tamara, Kumpulan Putusan MA Mengenai Hukum Adat., Gunung Agung, Jakarta, 1961
[7] Eddie Riyadi Terre. 2006. Masyarakat Adat, Eksistensi dan Problemnya: Sebuah Diskursus Hak Asasi Manusia, dalam Rafael Edy Bosko, Hak- hak Masyarakal Adat dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Alam, ELSAM dan AMAN, Jakarta

Penutup Artikel

Melalui pembahasan eksistensi hak ulayat dan model penyelesaian konflik, kita menyadari pentingnya menemukan keseimbangan yang tepat antara kebutuhan pembangunan dan pelestarian nilai-nilai adat. Pemahaman mendalam terhadap hak ulayat dapat menjadi dasar bagi penyelesaian konflik yang berkelanjutan dan berkeadilan. Semoga makalah ini bukan hanya menjadi kajian teoritis, tetapi juga menginspirasi implementasi solusi konkret yang dapat menjaga eksistensi hak ulayat sambil mengakomodasi dinamika perkembangan masyarakat modern.